Konsep Asas Millah Abraham
Millah Abraham mengimani isu paling penting yang menjadi titik tolak kepada segala masalah krisis sosial, politik, dan ekonomi yang sedang melanda masyarakat dunia hari ini, khususnya masyarakat di Nusantara, iaitu kemusyrikan.
Bagi kami, jika isu kemusyrikan dapat difahami dengan benar, kualiti kehidupan masyarakat akan dapat diubah menjadi damai dan sejahtera di aspek ekonomi, sosial, politik, moral, dan keharmonian masyarakat.
Perihal larangan Allah tentang perbuatan musyrik telah pun kita bincangkan dalam penulisan sebelum ini. Artikel ini berhasrat menyentuh konsep asas ajaran Millah Abraham yang kami imani.
Kami ulangi sekali lagi, bahawa penyelesaian isu kemusyrikan akan dapat mengeluarkan manusia daripada gejolak kerendahan nilai hidup yang sedang kita alami ini.
Ini kerana hidup dalam keadaan musyrik adalah perbuatan yang sangat dimurkai Allah seperti tertera dalam Al-Quran surah An-Nisā`[4] ayat 36, surah Al An‘ām dan [6] ayat 88, dan surah Al-Mā`idah [5] ayat 72.
48. Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Siapa saja yang mempersekutukan Allah (syirik), maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. [An Nisa’:48]
88. Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah (syirik), niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. [Al An’am:88]
72. Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putra Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (mensyirikkan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun. [Al Ma’idah:72]
Mungkin anda tertanya-tanya bagaimana ajaran Millah Abraham boleh mengatasi isu kemusyrikan yang sangat dibenci Allah ini. Kami senaraikan secara ringkas elemen asas ajaran Millah Abraham untuk kefahaman bersama.
Terdapat empat elemen asas ajaran Millah Abraham adalah Iman (Aqidah), Pengabdian (Ibadah), Hukum (Syariat), dan Kekuasaan (Khilafah). Mari kita telusuri satu per satu elemen ini agar dapat difahami.
-
- Iman (Aqidah)
Setiap Rasul yang diutus oleh Allah membawa satu misi yang sama, iaitu untuk mengajak umatnya kembali kepada kalimah tauhid: Lā ilāha illallāh.
Kalimah ini bukan sekadar ucapan di mulut, tetapi inti aqidah dan asas seluruh kehidupan seorang mukmin.
Firman Allah: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya bahawa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Aku, maka sembahlah Aku” (Surah Al-Anbiyā’ [21]: 25).
Kalimah ini adalah akar tunjang kepada keimanan. Bila akar ini tercabut dari hati manusia, hidupnya akan kembali dikuasai oleh syirik dengan menundukkan diri kepada selain Allah.
Rasul diutus untuk mengajak manusia kembali kepada fitrah. Mereka menjadi “mulut” Allah di bumi, menyampaikan kehendak-Nya melalui wahyu.
Untuk mengenal Allah, manusia perlu menggunakan pendengaran, penglihatan dan akal fikiran yang telah dikurniakan-Nya sebagai sarana untuk mendapatkan maklumat, menimbang-tara, dan membuat keputusan.
Tanpa mengenali Allah dengan cara yang benar, manusia tidak akan dapat beribadah dengan sempurna. Allah telah memperkenalkan diri-Nya bukan hanya melalui wahyu, tetapi juga melalui ciptaan-Nya.
Alam semesta adalah kitab terbuka, dan ayat-ayat dalam bentuk wahyu dalam kitab-kitab suci adalah firman-Nya sebagai panduan. Dalam erti kata lain, karya agung Allah ialah alam semesta, manakala ideologi-Nya ialah wahyu yang diperlukan untuk mengatur, mengurus dan mentandbir alam yang telah Dia ciptakan.
Inilah yang diabadikan dalam kitab suci Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Alam adalah manifestasi sifat Ar-Rahmān, manakala wahyu pula adalah manifestasi Ar-Rahīm (rujuk Surah Al-‘Alaq [96]: 1–5). Kedua-duanya mengajar kita sifat dan akhlak Allah.
Alam adalah ibarat kitab besar yang kekal di lauh mahfūz. Menekuni kejadian alam semesta adalah membaca ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) Allah.
Ilmu Allah amat luas sehingga seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambah dengan tujuh laut lagi sesudah itu, tidak akan habis-habisnya kalimat Allah” (Surah Luqmān [31]: 27). Begitu juga dalam Surah Āli ‘Imrān [3]: 190–191, Allah menyeru manusia merenung kejadian langit dan bumi sebagai tanda bagi orang yang berakal.
Nabi Muhammad s.a.w sendiri tidak tahu apa itu kitab atau iman sebelum wahyu diturunkan. Baginda dibesarkan dalam masyarakat yang buta wahyu (ummi). Ini dijelaskan dalam firman Allah,
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. (Ad Duha [93] :7)
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (wahyu), dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidak tahu apakah Kitab dan tidak pula mengetahui apa itu iman” (Surah Asy-Syūrā [42]: 52).
Iman bukanlah sesuatu yang boleh diwariskan. Ia juga bukan sekadar percaya kepada kewujudan Allah s.w.t.
Jika mempercayai kewujudan Allah dianggap syarat beriman, orang kafir Quraisy di zaman Rasulullah Muhammad s.a.w juga telah menyatakan percaya Allah itu Maha Pencipta (Surah Az-Zumar [39]: 38, Surah Al-Mu’minūn [23]: 84–89).
Bahkan Iblis sendiri percaya dan berdialog dengan Allah (Surah Al-A’rāf [7]: 12–14). Namun itu belum menjadikan mereka mukmin.
Inti utama keimanan seseorang kepada Allah sebagai Sang Pencipta dan Pengatur hidup dan kehidupan adalah kesedaran dan kesaksian dia akan ke-esa-an Allah, bahawa “Tidak ada ilah yang patut untuk ditaati kehendak dan perintahnya selain Allah, Tuan Semesta Alam”.
Kesedaran ini kemudiannya dinyatakan dalam kalimah persaksian (syahadah) secara lisan sebagai satu kalimat tauhid, “Saya bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah; Asyhadu an lā ilāha illā Allāh.”
Kesedaran spiritual inilah yang mampu mengeluarkan manusia daripada aqidah dan cara pemikiran diri, masyarakat dan bangsanya yang syirik dan najis menuju kepada satu kesedaran dan lingkungan spiritual yang baru, iaitu menafikan segala bentuk kepatuhan dan kecintaan pada isme-isme atau ideologi bangsa yang musyrik (pluralis).
Tanda seseorang itu faham kalimat, “Saya bersaksi …” berarti orang tersebut telah menyaksikan dan menjadi saksi dengan matanya sediri bahawa “Tidak ada ilah selain Allah.”
Seseorang tidak akan bisa bersaksi atau menjadi saksi apabila dia tidak mengetahui apa yang dipersaksikannya. Kalau pun dia bersaksi, maka kesaksiannya adalah palsu, menjadikan dirinya sebagai saksi palsu.
Orang dikatakan sebagai saksi palsu adalah orang yang tidak mengenal Allah, tidak mengetahui kehendak dan perintah Allah tetapi dia berani melafazkan kata syahadah kepada Allah.
Sama juga halnya orang yang tidak mengetahui apa visi dan misi Nabi Muhammad s.a.w sebagai Rasul Allah, tetapi dia berani bersaksi tentang Rasulullah Muhammad s.a.w.
Inilah perilaku iman orang-orang yang hanya ‘merasa’ atau ‘mengaku’ telah beriman, tetapi sebenarnya adalah orang-orang yang bersaksi palsu, Maka tidak harianlah hari ini kita lihat banyak orang mampu melafazkan syahadah tetapi perbuatannya berbeza daripada apa yang dilafazkannya. (QS. An-Nisā` [4]: 60 dan Al-Baqarah [2]: 8–10).
Iman sebenar ialah kesedaran spiritual dan komitmen ketaatan mutlak kepada Allah. Ia menafikan sebarang kepatuhan kepada ideologi atau “isme” ciptaan manusia. Firman Allah: “Barang siapa yang menyeru kepada selain Allah, maka dia telah menyeru kepada thaghut” (Surah An-Nahl [16]: 36, Al-Anbiyā’ [21]: 25).
Inilah iman dalam Millah Abraham, iaitu ketaatan total kepada Allah dan penolakan total terhadap thaghut. Inilah jalan para Nabi. Inilah jalan benar, Shiratal Mustaqim.
-
- Pengabdian (Ibadah)
Setelah adanya satu ikatan iman (aqidah) yang kuat, barulah seseorang dapat beribadah dengan suci dan benar kepada-Nya.
Syarat utama untuk dapat beribadah dengan cara yang benar kepada-Nya adalah membersihkan diri daripada segala isme atau ideologi yang dapat mengotori keimanan agar kita tidak syirik kepada Allah, Tuan Yang Maha Esa.
Mengenal Allah adalah mengenal kehendak dan perintah-Nya yang tertulis dalam kitab-kitab-Nya. Seseorang yang mengaku beriman harus mengenal sifat atau karakter Dia, mengenal apa yang dicintai dan apa yang dimurkai-Nya serta mengetahui apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang-Nya.
Millah Abraham mengajar dan mengajak manusia untuk kembali kepada fitrahnya yang sejati menjadi hamba kepada Allah, Sang Tuan Alam Semesta, Raja sejati umat manusia (Surah An-Naas [114]: 2).
Sebagai seorang makhluk (hamba), menjadi tanggung jawab kepada manusia untuk tunduk dan patuh (aslama) hanya kepada Allah, Sang Pencipta dirinya, bukan kepada tuan-tuan atau raja-raja selain Dia.
Dengan kata lain, setiap manusia (hamba) harus mampu meninggalkan segala bentuk pengabdian atau penghambaan diri kepada tuan-tuan atau raja-raja lain selain Allah, Raja Semesta Alam. Inilah sistem hidup yang haq dan fitrah bagi manusia.
Oleh itu pemimpin-pemimpin dan raja-raja dalam sistem pemerintahan hari ini wajib menjadikan firman Allah, hukum Allah dan sunnah rasul-rasul-Nya sebagai panduan dalam pemerintahan mereka, bukan lagi berkiblakan hukum ciptaan manusia, para penjajah dan hawa nafsu semata-mata.
Kata ibadah (pengabdian; penghambaan; tunduk patuh) berasal daripada bahasa Arab iaitu kata ‘abada – ya’budu – ‘ibādah, yang bermaksud mengabdi, menghambakan diri, merendahkan diri serta tunduk. Oleh itu secara bahasa, kata ibadah berarti tunduk patuh.
Dalam ajaran Millah Abraham, tujuan penciptaan manusia sememangnya adalah untuk sentiasa mengabdi, menghambakan diri, tunduk patuh hanya kepada-Nya, bukan untuk menyembah-Nya.
Golongan agama secara umum menafsirkan kata ibadah dengan penyembahan atau sembahyang (Sanskrit: Sembah Sang Hyang), yang identik dengan tata ritual dan penyembahan tertentu oleh seseorang kepada entiti yang disembahnya.
Pemalingan erti kata ibadah daripada konteks sebenar untuk mengabdi kepada menyembah mengakibatkan cara beribadah manusia kepada Allah lari daripada konteks yang sepatutnya.
Hari ini, kita dapat melihat golongan beragama akhirnya terjebak memberi fokus kepada kegiatan ibadah ritual semata-mata dan merasa cukup dengan ibadah ritual tersebut.
Bahkan dengan banyaknya ibadah ritual yang dilakukan, mereka sudah merasa dirinya sebagai manusia yang paling suci dan paling benar sebagai hamba Allah.
Mengabdi kepada Allah bukanlah semata-mata mengerjakan ibadah mahdhoh (ritual). Ia perlu dibuktikan melalui kesanggupan seorang mukmin untuk berkorban harta dan dirinya dalam merealisasikan semua kehendak dan rencana (perancangan) Allah kepada kehidupan manusia.
Untuk itu manusia harus melaksanakan semua perkara yang diperintahkan oleh Dia dan meninggalkan semua perkara yang dilarang oleh-Nya.
Persoalan yang biasa ditanyakan adalah bagaimana cara ibadah yang sebenar?
Jawapan kepada soalan ini sangatlah mudah. Lihatlah kepada beribadah yang telah dicontohkan oleh para Nabi dan Rasul Allah s.w.t sejak zaman berzaman.
Sekiranya anda beriman kepada Nabi Musa a.s, beribadahlah seperti yang dilaksanakan oleh baginda. Andainya anda mengimani Nabi Isa a.s, beribadahlah seperti yang diajarkan dan diperjuangkan oleh baginda.
Jika anda mengimani Nabi Muhammad s.a.w, perhatikanlah apa yang dilaksanakan dan diperjuangkan baginda sejak di era Makkiyah hinggalah ke era Madaniyyah.
Kita sama-sama dapat membaca melalui sejarah bagaimana daripada waktu dunia berada dalam peradaban gelap-gelita akhirnya menjadi terang-benderang dengan fajar kemenangan Din Al-Islam.
Nabi Muhammad s.a.w dan para sahabatnya bukanlah ‘juru agama’. Mereka adalah revolusioner menegakkan kembali sistem Allah dalam kehidupan umat manusia berdasarkan sunnah dan tuntunan-Nya.
Mereka mengubah tatacara kehidupan manusia yang berasaskan sistem pemerintahan ciptaan manusia di Mekah kepada pemerintahan Khilafah berasaskan hukum Allah yang diasaskan di Madinah dan kemudiannya tersebar ke seluruh dunia.
Inilah ibadah yang sebenar mengikut firman Allah dan sunnah para rasul-Nya.
Jadi, bagaimana pula dengan perintah menegakkan solat, menunaikan zakat, puasa di bulan Ramadhan, dan mengerjakan haji? Semua ibadah ini yang dikenali sebagai Rukun Islam, adalah ibadah mahdhoh yang sudah ada jauh sebelum Nabi Muhammad s.a.w menjadi rasul.
Ritual shalat, puasa, zakat, dan haji yang sudah dilakukan sejak zaman Nabi Ibrahim dan anak cucunya (QS. Al-Baqarah [2]: 125 dan Ibrāhīm [14]: 40), sejak zaman Nabi Musa (QS. Thāhā [20]: 14), sejak zaman Nabi Isa (QS. Maryam [19]: 30–31), dan nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad (QS. Al-Baqarah [2]: 183, Maryam [19]: 54–55, dan Al-Hājj [22]: 26–27).
Oleh itu tradisi ibadah yang ada dalam Rukun Islam sudah ada dan telah diwajibkan oleh Allah melalui Rasul-Nya sejak zaman Abraham dan diperkuatkan kembali oleh Rasulullah Muhammad s.a.w.
Millah Abraham tidak pernah menghalang mana-mana pengikut agama daripada menjalankan ritual ibadah mengikut kepercayaan mereka.
Persoalannya, adakah perlaksanaan ritual semata-mata dapat mengembalikan tegaknya Din Al-Islam yang diidam-idamkan pengikut pelbagai agama?
-
- Hukum (Syariat)
Hukum Allah adalah hukum sebenarnya adalah fitrah bagi semua makhluk ciptaan-Nya khususnya manusia.
Secara prinsip, hukum Allah adalah sistem aturan hidup yang merangkumi seluruh aspek yang mengatur kehidupan manusia, baik hubungan dengan Dia sebagai Raja umat manusia dan juga hubungan sesama makhluk (manusia, haiwan dan lain-lain ciptaan).
Semua aturan hukum tersebut dicipta untuk menjaga fitrah manusia yang akan mencipta kedamaian dan kebahagiaan hidup bagi kehidupan umat manusia di muka bumi, serta menjaga keseimbangan dan keharmonian sesama makhluk lain di alam semesta.
Pelanggaran manusia terhadap hukum-hukum Allah (sebagai sesuatu yang fitrah) pasti akan (dan sudah terbukti hari ini) menimbulkan ketidak adilan dan merosakkan aturan hidup yang pada akhirnya mengakibatkan kesengsaraan dan malapetaka sosial bagi kehidupan manusia.
Hukum Allah disampaikan dan diajarkan kepada manusia melalui rasul sebagai mediator-Nya dengan proses pewahyuan.
Kumpulan aturan hukum Allah disusun dan ditulis menjadi kitab-kitab suci seperti Taurat oleh Nabi Musa, Injil oleh Nabi Isa, dan yang terakhir hari ini adalah Al-Qur’an yang menjadi peninggalan Nabi Muhammad s.a.w.
Dalam Millah Abraham, kitab-kitab suci menjadi sumber utama dan terpenting aturan hukum Allah secara bertulis.Itulah mengapa ketiga-tiganya digelarkan dengan istilah “Al-Kitab”, iaitu pengumpulan rujukan ketetapan-ketetapan (kataba) dan hukum-hukum Allah, Tuan Semesta Alam.
Oleh kerana hukum Allah adalah sesuatu yang benar dan fitrah, ia tidak akan pernah atau akan mengalami perubahan. Kita sedia maklum setiap rasul diutuskan pada zaman yang berbeza namun kesemua mereka membawa hukum yang sama dari Allah s.w.t.
Dengan kata lain, meskipun Allah mengutus Rasul-Nya pada tempat dan zaman yang berbeza, aturan hukum yang diajarkan dan diperintahkan oleh-Nya tetaplah sama dan tidak pernah berubah.
Apabila hukum Allah telah diubah oleh tangan-tangan manusia, Dia mengutus Nabi Musa dengan membawa Taurat. Ketika hukum-Nya yang ada di dalam Taurat diubah oleh tangan-tangan jahil manusia, Dia mengutus Nabi Isa untuk meluruskannya dengan Injil.
Perkara sama berlaku apabila hukum-Nya yang ada di dalam Taurat dan Injil telah diselewengkan oleh tangan-tangan jahil manusia, Dia mengutus Nabi Muhammad untuk memperbetulkan kembali hukum dan ajaran-Nya.
Maka tidak benar sama sekali jika ada yang mengatakan ajaran dan syariat yang dibawa oleh para Rasul Allah berbeza antara satu dengan yang lainnya.
Hari ini hukum yang berada di dalam Al-Quran dan kitab-kitab suci yang lain sudah diketepikan, diselewengkan dan ‘disesuaikan’ dengan zaman yang kononnya serba-serbi moden.
Al-Qur’an menyebut hukum yang dibuat atas dasar kesepakatan manusia dengan sebutan hukum jahiliyah (QS. Al-Maidah [5]: 50.
Karena manusia sudah berani membuat aturan hukum di luar hukum Allah, maka perlu ada gerakan untuk mengembalikan semula manusia kepada fitrah selari dengan kehendak Yang Maha Pencipta.
Aqidah Millah Abraham menetapkan manusia beriman wajib menjalankan segala kehendak dan perintah (hukum) Allah, Tuan Semesta Alam, dalam segenap sendi hidup dan kehidupannya, bukan sebatas menjalankan kewajiban ritual belaka.
Ketika ada seseorang atau sekelompok orang yang tidak menerapkan hukum Allah dan tidak memutuskan perkara atas dasar hukum Allah, mereka disebut orang kafir, zalim, dan fasik seperti tertera dalam Surah Al-Maidah [5] ayat 44, 45 dan 47:
…وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ (٤٤)
…Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. [Al Ma”idah:44]
… وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ (٤٥)
…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. [Al Ma”idah:45]
وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ (٤٧)
…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. [Al Ma”idah:47]
Semua penegasan tentang penegakan hukum Allah di atas adalah firman (ayat-ayat) yang jelas dan tegas dan tidak memerlukan penafsiran yang berbelit-belit yang akan menjadikannya kabur dan hilang nilainya sebagai petunjuk kepada manusia.
Hanya dengan menjalankan hukum Allah secara menyeluruh (kāffah), manusia akan berada dalam fitrah dan suci, serta dapat membantu manusia menegakkan dan mewujudkan keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan bersama.
Keadilan sejati tidak akan dapat ditegakkan selama hukum yang digunakan dalam memutuskan perkara manusia adalah hukum hasil konsensus syahwat manusia yang tidak didasari dan dilandasi oleh kesadaran firman (wahyu) Allah atau menggunakan hukum jahiliyah.
-
- Kekuasaan (Khilafah)
Millah Abraham percaya bahawa Allah mempunyai hak prerogatif dalam menentukan
siapa yang akan diangkat sebagai penguasa, pemimpin, dan pemuka di bumi.
Bagi Millah Abraham, siapa sahaja yang diangkat sebagai pemimpin di dunia hari ini adalah atas kehendak Allah. Oleh itu, melawan atau cuba menjatuhkan mereka samalah dengan melawan ketentuan yang telah Allah tetapkan.
Millah Abraham melarang, bahkan sentiasa menekankan bahawa sebarang usaha merampas kuasa, kudeta (coup d’etat) dan menjatuhkan pemerintah baik secara percaturan politik mahupun kuasa senjata adalah perbuatan yang salah.
Para pengikut Millah Abraham sentiasa diperingatkan tentang perkara ini. Fokus kami hanyalah untuk berdakwah, menyampaikan kesedaran dan mengembalikan manusia ke jalan hidup yang benar agar Allah mengurniakan keampunan dan kekuasaan-Nya sebagai landasan membawa kedamaian dan kesejahteraan di muka bumi.
Kami benar-benar memahami dan percaya bahawa Dia Maha Kuasa untuk memberikan kekuasaan (menjadikan penguasa) kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, begitu pula untuk mencabut kekuasaan dari siapa saja yang dikehendaki-Nya.
Ini dinyatakan dengan jelas dalam surah Ali Imran [3] ayat 26 hingga 27:
قُلِ ٱللَّهُمَّ مَٰلِكَ ٱلۡمُلۡكِ تُؤۡتِي ٱلۡمُلۡكَ مَن تَشَآءُ وَتَنزِعُ ٱلۡمُلۡكَ مِمَّن تَشَآءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَآءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَآءُۖ بِيَدِكَ ٱلۡخَيۡرُۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ (٢٦) تُولِجُ ٱلَّيۡلَ فِي ٱلنَّهَارِ وَتُولِجُ ٱلنَّهَارَ فِي ٱلَّيۡلِۖ وَتُخۡرِجُ ٱلۡحَيَّ مِنَ ٱلۡمَيِّتِ وَتُخۡرِجُ ٱلۡمَيِّتَ مِنَ ٱلۡحَيِّۖ وَتَرۡزُقُ مَن تَشَآءُ بِغَيۡرِ حِسَابٖ (٢٧)
26. Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
27. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)”.
[Ali Imran:26-27]
Berdasarkan ayat di atas, Aqidah Millah Abraham meyakini bahawa tidak kiralah semua bentuk ideologi dan kewujudan negara bangsa adalah atas izin Allah Yang Maha Kuasa.
Begitu juga dengan individu yang diangkat sebagai pemimpin dunia hari ini, tidak kiralah dari mana, jenis fahamannya dan apa juga tindakannya, kami mengimani orang-orang yang diangkat sebagai pemimpin di dunia hari ini adalah atas kehendak dan ketetapan Allah, Rabbul ‘Alamin.
Atas sebab itulah, kami pengikut Millah Abraham tunduk patuh pada aturan hukum positif pemerintah bangsa-bangsa yang sedang berkuasa.
Namun, ada sesuatu yang tidak dapat dikawal mana-mana pemerintah adalah penggiliran dan pergantian era pemerintahan.
Kerajaan yang berpaksikan ajaran wahyu (mengamalkan hukum Allah) dan nafsu (mengamalkan hukum ciptaan manusia) mempunyai gilirannya masing-masing.
Setiap empayar, hegemoni dan kuasa di dunia terikat dengan konsep Sunnatullah atau Tradisi Tuhan, iaitu Hukum penggiliran dan Hukum Ajal.
Sejarah membuktikan dua hukum ini sentiasa berlaku dan tidak pernah berubah dan terus berlangsung sepanjang peradaban umat manusia.
i. Hukum Penggiliran/Pergiliran
Dari zaman ke zaman dapat kita lihat bangkit dan jatuhnya pelbagai kerajaan di seluruh dunia. Walaupun di mata kebanyakan orang ia dilihat sebagai pergantian kuasa politik, bagi pengikut Millah Abraham, naik turun sesuatu bangsa atau kerajaan semuanya adalah atas perancangan dan kehendak Allah, Tuan Semesta Alam.
Kerana hal ini adalah sesuatu yang berlaku sepanjang zaman turun-temurun kami di Millah Abraham menggunakan perkataan ‘Tradisi Tuhan’ yang merujuk kepada satu yang berlaku pada setiap zaman dengan kehendak Allah.
Tradisi Tuhan tentang pergantian dan penggiliran peradaban kekuasaan adalah sesuatu yang tidak pernah berubah sepanjang zaman kehidupan umat manusia.
Surah Al-Isra ayat 4 hingga 7 menggambarkan bagaimana tradisi penggiliran kekuasaan yang berlaku pada Bani Israel agar dapat kita jadikan pelajaran:
4. Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: “Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar”. [Al Isra”:4]
5. Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana. [Al Isra”:5]
6. Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar. [Al Isra”:6]
7. Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai. [Al Isra”:7]
[Al Isra’ :4-7]
Kita sedia maklum bagaimana Allah menganugerahkan kemenangan kepada Nabi Musa a.s yang memimpin Bani Israel masuk ke tanah perjanjiannya di Kan’an (hari ini dikenali sebagai Palestin, Israel dan sekitarnya.
Kerajaan yang dibangunkan Nabi Musa terus berkembang hingga ia mencapai kemuncak kegemilangan sehinggalah wafatnya Nabi Sulaiman a.s yang menjadi titik perpecahan Bani Israel.
Perpecahan umat adalah satu bentuk kemusyrikan dan amat dibenci Allah, lalu Allah hantarkan Raja Nebukadnezar dari Babylon untuk menghancurkan dan merampas tanah itu daripada mereka.
Tanah itu kemudiannya diperintah beberapa bangsa besar yang memerintah tanpa menggunakan wahyu sehingga pada saat Allah memberi giliran kedua kepada Bani Israel untuk bangkit mengalahkan penguasa bangsa-bangsa musyrik (Romawi), dengan cara Dia mengutus Nabi Isa a.s sebagai Rasul-Nya.
Nabi Isa kemudiannya berdakwah dan mengajak Bani Israel untuk kembali berjuang menegakkan din atau sistem kehidupan yang haq, sehingga umat Bani Israel yang pada waktu itu berada dalam keadaan terkutuk dan terjajah (berdosa) kembali menjadi umat yang diberkati oleh Allah, Tuan Semesta Alam dan menjadi umat yang berkuasa di muka bumi (khilafah fil ardh).
Sesuai dengan Tradisi Tuhan, umat Nabi Isa a.s (Bani Israel) kemudiannya kembali berpecah dan menjadi musyrik. Sebagai azab atau hukumannya, kekuasaan atau khilafah yang dipegang oleh Bani Israel kembali diruntuhkan oleh Allah melalui tangan hamba-hamba-Nya yang lain.
Dengan itu, tamatlah dua kali giliran yang Allah berikan kepada Bani Israel untuk menjadi penguasa di dunia.
Selepas itu, tampuk kekuasaan Kerajaan Allah yang dibangunkan berasaskan wahyu diberikan kepada Bani Ismail, yakni bangsa Arab dengan cara Allah memilih Nabi Muhammad s.a.w sebagai Rasul-Nya.
Melalui bimbingan dan kepemimpinan Rasulullah Muhammad s.a.w, Allah sebagai Tuan Semesta Alam kembali memenangkan din-Nya dan menegakkan kerajaan-Nya di muka bumi (Khilafah).
Umat Nabi Muhammad s.a.w berjaya menegakkan din atau hukum Allah di muka bumi melalui politik (khilafah) di seluruh pelosok muka bumi.
Persoalannya, kenapa hari ini umat Islam tidak lagi menjadi penguasa, bahkan menjadi umat yang diinjak, dibuli dan diperkecilkan oleh kuasa-kuasa besar dunia?
Selari dengan Tradisi Tuhan, tidak ada satu perkara pun yang akan kekal selamanya.
Era penguasaan politik umat Nabi Muhammad s.a.w turut mengalami keruntuhan apabila khilafah Abbasiyah dihancurkan oleh kerajaan Mongol yang diketuai Hulagu Khan pada abad ke-13.
Inilah saat kematian (ajal) umat yang dibangun oleh Rasulullah Muhammad s.a.w. Akibat dari runtuhnya khilafah tersebut, umat nabi Muhammad s.a.w kembali menjadi umat yang terjajah dan menjadi hamba kepada bangsa-bangsa yang berkuasa di dunia selepas itu.
Keadaan itu berkekalan hingga hari ini. Dunia sedang dikuasai oleh peradaban kerajaan musyrik, yang mana ideologinya tidak bersumberkan wahyu Allah iaitu ideologi liberal-kapitalis di blok barat dan ideologi komunis-sosialis di blok timur.
Umat Islam harus menerima ketetapan Allah ini dan belajar dari tradisi para Rasul untuk kembali menegakkan din-Nya agar kembali mendapat anugerah kekuasaan dari-Nya iaitu tegaknya kembali khilafah di muka bumi.
ii. Hukum Ajal Kerajaan/Kekuasaan
Setiap sesuatu yang hidup pasti mati. Seperti manusia, setiap umat mempunyai umur. Ada detik lahirnya dan apabila sampai waktu, ia akan menemui ajal.
Hidup-mati sesuatu adikuasa tidak dapat dihindari kerana ia adalah sebuah Tradisi Tuhan (Sunnatullah).
Setiap kuasa besar dunia akan cuba mempertahankan ‘umurnya’ agar tetap kekal berkuasa dan dipandang tinggi.
Dunia hari ini melihat bagaimana Amerika Syarikat yang dahulunya amat berkuasa, hari ini sedang menghadapi sindrom ‘empayar senja’ dan sedang berusaha dengan pelbagai cara untuk kekal dilihat relevan.
Al-Quran berhujah bahawa semuanya sudah ditentukan Allah dan manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Ini dijelaskan dalam Al-Quran dalam surah Al-’Araf dan Al-Hijr seperti di bawah:
34. Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya (mengawalkannya). [Al A’raf:34]
4. Dan Kami tiada membinasakan sesuatu negeripun, melainkan ada baginya ketentuan masa yang telah ditetapkan. [Al Hijr:4]
5. Tidak ada suatu umatpun yang dapat mendahului ajalnya, dan tidak (pula) dapat mengundurkan(nya). [Al Hijr:5]
[Al Hijr:4-5]
Hukum ajal sesebuah kerajaan, empayar atau kekuasaan menjadikan penggiliran ketamadunan berlaku dari masa ke masa mengikut kehendak Allah Yang Maha Kuasa.
Sama seperti bergantinya malam dan siang, kekuasaan pemerintahan berasaskan wahyu dan non-wahyu diberikan peluang untuk menguasai dunia pada waktu yang ditentukan-Nya.
Dalam konteks dunia moden hari ini, Millah Abraham mengimani bahawa sekuat apapun suatu bangsa yang sedang berkuasa (termasuk blok Barat dan Timur) saat ini, ketika ajal kekuasaannya tiba, maka mereka tidak dapat menghindarinya.
Tanda-tanda kejatuhan kerajaan blok barat dan blok timur juga dapat dilihat hari ini dengan perseteruan politik, ekonomi dan ketenteraan yang kami percaya lambat-laun akan mengakibatkan berlakunya konflik Perang Dunia Ketiga.
Seperti mana umat Islam zaman Nabi Muhammad s.a.w bergembira dengan kemenangan Parsi ke atas Rom dan kemudiannya Rom menang pula ke atas Parsi (lihat surah Ar-Rum ayat 2-4), senario sama akan berulang kepada kuasa besar dunia hari ini dan apabila itu berlaku, orang-orang beriman akan bersujud syukur kepada Allah atas pertolongan-Nya.
Atas sebab itulah Millah Abraham MENENTANG SEBARANG BENTUK PEMBERONTAKAN ATAU USAHA RAMPASAN KUASA baik secara politik atau ketenteraan.
Bagi kami, naik turun sesuatu kerajaan sudah pun tertulis di Lauh Mahfudz dan seperti yang tertulis dalam surah Ali Imran ayat 26, setiap pemimpin yang berkuasa hari ini adalah atas izin Allah justeru sebarang usaha menjatuhkan mereka adalah melawan ketentuan Allah.
Jika orang beriman di Nusantara hari ini ingin dianugerahkan kekuasaan dari Allah, syarat utama yang perlu dipatuhi adalah menjadi umat yang betul-betul beriman hanya kepada-Nya dan sanggup untuk beramal saleh, seperti yang dicontohkan oleh umat terdahulu pada zaman Nabi Muhammad, Nabi Isa, Nabi Musa, Nabi Nuh dan Nabi Adam a.s.
55. Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. [An Nur:55]